ia pergi merantau

6 Des 2011

Ia mengepak kardus terakhir yang berisi buku. Sekarang apa lagi? tanyanya dalam hati. Sudah berhari-hari ia menunda untuk membereskan kamarnya dan memilah-milah mana saja yang akan ia bawa. Ia masih berharap terjadi sesuatu yang bisa mencegahnya pergi dari kamar ini. Jika itu terjadi, maka ia tidak usah repot-repot membongkar lagi kardus-kardus.

“Celana-celana ini sudah tidak muat lagi di pinggang bapakmu,” ucap ibunya yang baru saja masuk ke kamar. “Perutnya sudah makin buncit. Kamu bawa saja ya? Mungkin agak sedikit longgar, tapi kamu bisa membawanya ke tukang jahit untuk dirombak.”

“Ah, Bu,” jawabnya. “Untuk apa sih celana kain? Nanti pasti aku pakai celana jeans.”

“Lha? Kamu itu kan kuliah di jurusan pendidikan. Ya stelannya harus kayak guru dong? Celana kain dan kemeja. Pakai sepatu kulit.”

Ia tak mau membantah ibunya lagi. Ia tahu, sekeras apapun ia menolak, ibunya pasti akan menang. Diambilnya celana-celana itu dan dimasukkannya ke dalam tas pakaian besar yang sudah hampir penuh dengan jeans dan kaus.

“Bapak di mana?” tanyanya.

“Belum pulang. Mungkin sebentar lagi,” jawab ibunya sambil keluar menuju dapur.

Ia menghela napas lagi. Bahkan hingga detik ini, ia masih berharap ada sesuatu yang bisa mencegahnya pergi. Bayangan hidup sendiri di kota orang sedikit membuatnya bingung. Akankah ia berhasil bertahan di kota besar yang terkenal kejam itu? Akankah ia bisa menjalani perkuliahan dengan tenang sementara ibu dan bapaknya jauh di sini, di kota kecil ini?



Ah, kenapa sih di sini tidak ada universitas? pikirnya. Pikiran yang sama yang sudah menggelayuti pikirannya sebulan terakhir ini.

Ia memandang kalender yang tergantung di atas meja belajarnya. Betapa waktu terlalu cepat berlalu. Ketika lulus SMA, ia sangat bersemangat. Akhirnya ia akan dapat pergi meninggalkan kota kecil yang membosankan ini. Akhirnya ia bisa bertemu orang-orang baru. Mungkin ia akan bertemu dengan gadis kota yang menarik, yang bisa menghapus bayang-bayang seorang gadis yang telah lama ia tunggu, dan tetap membuatnya menunggu hingga berbulan lamanya.

Ujian SNMPTN dilaluinya dengan mudah. Tekadnya untuk belajar di universitas yang satu ini sudah bulat. Ya, ia ingin menjadi guru. Ia ingin menjadi seperti bapaknya.

Namun ketika pengumuman hasil SNMPTN tiba, ia terhenyak. Bukan karena ia tidak lolos di universitas yang ia pilih, melainkan karena gadis itu juga diterima di sana. Berbeda jurusan, tapi satu fakultas. Dunia ini tidak adil, pikirnya.

Lalu ia mulai berpikir bahwa mungkin merantau ke Bandung bukanlah ide yang bagus. Mungkin sebaiknya dia ke Bogor saja. Ah, jangan. Jaraknya kagok. Terlalu jauh untuk pulang-pergi, terlalu dekat untuk ngekos. Atau ke Jogja saja! Ah, terlalu jauh. Ia tak ingin kesulitan pulang.

Maka akhirnya ia menerima saja keputusan sang takdir ini. Mungkin ini justru jalannya, supaya penantiannya itu akhirnya berakhir. Mungkin saja kan?

Tapi tetap saja ada yang mengganjal. Kalau ia tak di rumah lagi, siapa yang akan membantu ibunya menyirami tanaman? Siapa yang akan membetulkan sekering listrik ketika bapaknya tidak ada di rumah? Siapa yang akan mengantar ibunya belanja? Dan ia pun semakin bingung.

Bapaknya tiba-tiba mucul di pintu. “Sudah siap?”

“Eh,” ia kaget. “Sebentar lagi, Pak.”

Cepat-cepat ia mengecek lagi semua kardus, tas, dan plastik yang tadi sudah ia siapkan. Setelah semua beres, ia mulai mengangkutnya ke teras rumah. Di luar sudah ada mobil Kijang milik pamannya. Kemudian ia memasukkan barang-barang itu ke dalam mobil. Lambat sekali ia bergerak, masih berharap ada yang mencegahnya pergi. Ia sudah berpikir bahwa jika ibunya menangis ketika melepasnya pergi, ia tidak akan jadi pergi.

“Hati-hati ya?” kata ibunya sambil memeluknya erat. “Jangan nakal. Jangan lupa solat. Jangan telat makan. Jangan main-main kuliahnya. Dan ‘jangan-jangan’ yang lainnya.”

“Iya, Bu,” jawabnya sambil membalas pelukan ibunya. “Ibu kok gak nangis?”

“Lha? Ngapain nangis? Bandung itu cuma sejam setengah kok. Kalau ibu kangen ya tinggal berangkat saja.”

Sepertinya aku memang harus pergi.

Singkat cerita, ia sudah di dalam mobil di jalan menuju Bandung bersama bapaknya. Ibunya tidak bisa ikut karena sedang sakit pinggang dan tak bisa duduk berlama-lama. Sepanjang perjalanan, bapaknya tidak banyak bicara. Hanya sesekali saja suaranya terdengar, yaitu ketika beliau mengomentari tingkah laku para pengguna jalan.

Ia juga diam. Masih mencoba menenangkan hati dan pikiran.

Tak terasa satu jam setengah telah berlalu dan kini mobil Kijang itu telah terparkir di depan sebuah kos-kosan sederhana. Semua kardus, tas, dan plastik sudah diturunkan dari mobil dan dimasukkan ke dalam kamar kosnya.

“Bapak pamit ya?” kata bapaknya.

“Iya, Pak. Hati-hati di jalan.”

Tapi bapaknya tidak pergi. Mereka saling bertatapan. Tiba-tiba mata bapak basah.

“Kamu sudah besar ya sekarang?”

Lho? Ini terbalik. Kok Bapak yang nangis? Ia serba salah. Tak pernah ia melihat seorang pria dewasa menangis. Ia tak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba bapaknya memeluknya. “Baik-baik ya di sini? Kalau ada apa-apa, hubungi Bapak sesegera mungkin.”

Ia tersenyum. Dibalasnya pelukan itu. “Iya, Pak. Insya Allah aku akan baik-baik saja di sini. Bapak juga baik-baik ya?”

Bapaknya melepaskan pelukan dan tersenyum. Kemudian beliau pergi pulang. Tinggallah ia seorang diri, memandangi barang-barang yang belum ia bereskan itu.

Ah, nanti saja. Makan dulu, pikirnya.

Dirogohnya saku jeans-nya. Tapi dompetnya tak ada. Di tas? Tak ada. Di kardus? Di plastik? Nihil.

Dompetnya tertinggal.

Bapaknya sudah jauh.

Dan ia lapar.

Join the discussion?

  1. Sangat suka dengan cerita-cerita seperti ini, Putdar. *oh asmara yang tak ter-bejakeun berakhir dengan nestapa...

    BalasHapus

Sila berkomentar :)