"masih inget gak?"

31 Jan 2012

Masih inget Kakak gak?

Sudah sepuluh menit Laras memandangi pertanyaan itu di layar laptopnya. Kata-kata itu, ‘masih inget gak?’, rasanya kurang cocok untuk dipakai oleh orang itu.

Setelah ragu-ragu selama lima detik, Laras mulai mengetik jawabannya.

Masih, Kak. Ini Kak Budi kan? Yang ketua ekskul basket waktu di SMA dulu? Gak mungkin aku lupa. Sampe detik ini juga aku masih inget sosok Kakak yang botak-jangkung-kurus itu, yang dulu aku lihat tiap hari. Di sekolah, di jalan waktu berangkat & pulang sekolah, di lapangan basket. Di mana-mana.

Aku juga masih inget waktu Kakak ditolak sama Linda & Kakak sedih banget. Waktu itu aku lagi duduk di pinggir lapang & Kakak duduk di sebelah aku. Tiba-tiba Kakak tiduran di pangkuan aku. Aku kaget banget waktu itu, tapi Kakak bilang “Please, Ras. Aku baru ditolak.” Terus Kakak nyanyi lagunya Dewa 19 yang Pupus. “Baru kusadari cintaku bertepuk sebelah tangan.” Kakak gak tau aja waktu itu aku nahan nangis. Perasaan aku juga bertepuk sebelah tangan, Kak. Dan hati aku hancur banget pas ngeliat cowok yang aku suka, yang aku sayang banget, tiduran di pangkuan aku sambil cerita kalo dia lagi sedih gara-gara cewek lain?

Aku masih inget waktu Kakak kecelakaan sepulang latihan basket. Aku inget waktu Kakak ngesms aku & bilang kalo Kakak tabrakan. Aku langsung nangis & terpaksa Dilla ngebonceng aku ke tempat Kakak kecelakaan. Aku inget waktu Kakak bilang kalo Kakak gak apa-apa & aku sebaiknya pulang aja.

Yang aku gak inget adalah kenapa Kakak tiba-tiba berubah sikap ke aku. Aku gak inget salah aku apa, sampe-sampe untuk ngeliat mata aku aja Kakak udah gak mau lagi. Tapi aku inget waktu Kakak dengan sengaja ngelempar bola ke punggung aku. Aku inget waktu Kakak lewat gitu aja tanpa ngelirik aku yang nangis kesakitan. Aku masih inget waktu Kakak ngelempar bola ke aku lagi, tapi kali ini yang Kakak arah adalah kaki. Terus Kakak cuma bilang “Eh, maaf ya?” & pergi.

Aku masih inget rasa sakit yang aku rasain tiap aku liat Kakak di sekolah, di jalan waktu berangkat & pulang sekolah, di lapangan softball, di pikiran aku. Di mimpi aku.

Ya, aku masih inget. Gak mungkin aku lupa.

Laras membaca ulang tulisannya sebanyak tiga kali, lalu dia menghapus dan menggantinya dengan:

Eh, Kak Budi! Apa kabar? :D

Kemudian Laras mengirimnya.

------------------------------------------------------

Note:
Ini tulisan jaman SMA, jadi ABG banget gitu deh. Haha! Saya pengen nulis sesuatu di blog ini, tapi gak ada ide tea. Jadi aja masukin tulisan lama... (Hidup blogger murtad! :p)

menularkan galau (2)

20 Jan 2012



Waktu SMA dulu, saya sama temen-temen punya semacam "markas". Tiap istirahat, kami ke kantin beli mi ayam atau batagor, terus makannya di depan ruang multimedia yang ada di lantai atas dari lab bahasa. Pokoknya mah tiap istirahat, kita yang ngisi. Gak ada pihak lain yang nangkring di situ selain kita.

Pas ujian nasional dan ingar bingar keriweuhannya selesai, saya sama temen-temen jadi jarang ke sekolah. Dan ketika pada suatu hari kami memutuskan untuk ketemu di sekolah, apa yang kemudian kami temukan? Ada adik kelas yang nangkring di "markas" kami!

Kami gak bisa ngapa-ngapain sih... Lha wong itu gedung sekolahan. Ya semua siswa boleh make dong?

Tapi tetep aja sedih. Tempat yang biasanya jadi tempat kita berteduh, tiba-tiba diisi sama orang asing dan kita jadi gak bisa ikut diem di situ gara-gara obrolan dan "inside joke"-nya beda. (Si adik kelas jelas gak akan ngerti kenapa kami ketawa-ketawa sambil teriak "Dor! Dor! Dor! Lalala...")

Dan sekarang perasaan semacam itu terulang. Tapi dalam hal yang berbeda. Saya sedih...

sirik

8 Jan 2012

“Kamu cemburu?”

“Banget.”

“Lho? Kok kamu gak pernah cerita kalo kamu suka sama dia?”

“Dia? Siapa?”

“Ya cowok itu lah... Masa’ ceweknya?”

“Gak kok. Gak suka.”

“Terus kenapa cemburu?”

“Aku cemburu sama hubungan mereka. Kayaknya mereka bahagia banget. Kapan aku kayak mereka?”

“Dih... Itu sih bukan cemburu namanya.”

“Apa dong?”

“Sirik.”

"bolehkah aku memelukmu?"

7 Jan 2012

Aku memandanginya ketika dia menghela nafas panjang.

“Aku sudah tahu,” ujarnya  sambil memandang jauh ke arah matahari yang semakin menghilang di horison.

Aku menelan ludah. “Sejak kapan?”

“Sejak kamu menolak untuk bercerita tentang gadis yang kamu suka.”

Pandangan kami bertemu sesaat. Tapi kemudian dia mengalihkan pandangannya ke rerumputan yang tumbuh di dekat kakinya.

“Kamu selalu menceritakan semuanya padaku,” lanjutnya. “Tapi kamu menolak untuk bercerita tentang gadis itu. Aku tahu aku bisa saja salah. Tapi kemudian aku takut. Takut sekali. Kamu tahu kan apa yang biasanya terjadi pada dua orang sahabat yang terjebak oleh perasaan semacam itu?”

Ia memandangku lagi.

“Mereka menjadi jauh. Aku tidak bisa kehilangan kamu lagi untuk yang kedua kalinya.”

Aku mengangguk pelan. Aku punya sejuta bantahan untuk argumenmu itu. Tapi aku memilih diam.

“Bayangkan,” katanya sambil berjalan mendekati pagar tempat aku bersandar, “apa yang akan terjadi pada kita jika kita memutuskan untuk menyambut dan merayakan hadirnya perasaan itu, kemudian setelah beberapa saat perasaan itu pergi dari kita? Apa kita masih bisa memanggil satu sama lain sebagai sahabat?”

Aku menghela nafas.

“Aku sayang kamu. Kamu tahu itu kan?” tanyanya.

Kupandang wajahnya yang dibingkai rambut yang dicat merah menyala. Tidak begitu cantik, tapi selalu menarik. Selalu unik.

 “Ya,” jawabku singkat.

“Aku pikir itu cukup. Aku sayang kamu, kamu sayang aku. Lalu apa lagi?”

“Aku hanya...” Untuk sesaat, aku ragu-ragu. “Aku pikir kita bisa menjadi... pasangan? Sepasang kekasih yang kemudian menikah?”

Apakah aku berhalusinasi atau memang wajahnya memerah?

Dia kembali memandangi rerumputan. Lalu tanpa mengangkat wajahnya, dia berkata “Kata siapa untuk bisa menikah kita harus jadi sepasang kekasih dulu? Aku tidak keberatan menikahi seorang sahabat kok. Kalau memang jodoh, kenapa tidak?”

Aku tersenyum. “Kita sahabat kan ya?”

Dia mengangkat wajahnya dan balas tersenyum. “Iya.”

“Bolehkah aku memelukmu?”

Masih sambil tersenyum, dia berjalan mendekatiku.

Matahari sudah menghilang, tapi sisa-sisa sinarnya masih ada di kaki langit.

kemudian aku berhenti mencintainya.

4 Jan 2012

manekin
Aku pernah mencintainya. Dulu sekali, ketika senyumnya manis dan tulus. Ketika dia memandangku dengan penuh cinta dan kelembutan. Ketika dia memanggilku dengan panggilan kesayangan.

Kemudian dia mulai berpakaian seperti wanita murahan dengan dalih fashion. Kemudian mulai memakai riasan yang berlebihan. Dia bukan wanita yang dulu kukenal. Dia bahkan bukan wanita lagi. Dia manekin berjalan.

Kemudian aku berhenti mencintainya.